UTS-1 All About Me

Sebuah Awal yang Tidak Manis
Aku bukan anak baik di masa kecil. Kalimat itu mungkin terdengar keras, tapi biar jujur aja — begitulah adanya. Sebelum kelas empat SD, aku tumbuh di lingkungan yang, kalau boleh dibilang, bukan tempat ideal untuk menanam mimpi. Hari-hariku diisi kenakalan, keisengan, dan rasa penasaran yang sering berujung masalah. Hampir semua kenakalan remaja pernah kucoba, kecuali dua hal:😅
Lucunya, justru dari masa itu aku belajar banyak. Hidup di lingkungan yang “berisik” membuatku terbiasa membaca keadaan, memahami orang, dan tahu kapan harus berhenti. Aku dulu tidak tahu arah, tapi entah bagaimana, ada satu orang yang membuka mataku — omku.
Sebuah Percikan yang Mengubah Segalanya
Omku bukan orang kaya, bukan juga lulusan universitas ternama. Tapi satu kalimat darinya mengubah seluruh hidupku:
“Pendidikan bisa mengubah kualitas hidupmu, Us.”
Kalimat sederhana itu terasa seperti tamparan lembut. Untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa hidup bukan soal mengikuti arus, tapi tentang memilih arah. Sejak itu, aku mulai melihat belajar bukan sebagai kewajiban, tapi kesempatan.
Aku lahir di keluarga yang tidak akrab dengan kata “edukasi”. Tak ada yang bicara soal IPK, kuliah, atau riset. Tapi dari keluarga itu, aku belajar arti perjuangan — bahwa hidup bisa keras, tapi kita bisa lebih keras lagi. Aku tumbuh dari minus: finansial yang serba pas-pasan, akses pendidikan yang terbatas, dan lingkungan sosial yang kadang mematikan mimpi. Tapi mungkin justru dari “minus” itulah semangatku berakar.
Dari Minus
Aku tidak pernah bermimpi masuk ITB karena dulu rasanya tidak realistis. Tapi mimpi kadang datang tanpa izin, dan usaha yang keras ternyata punya suara. Aku menapaki jalan yang panjang — penuh kegagalan, gap year, dan rasa ragu — hingga akhirnya aku berdiri di kampus ini, di STEI-K ITB, belajar tentang sistem, teknologi, dan masa depan.
Aku memilih STEI-K karena di sanalah aku bisa menjembatani dua hal yang paling kusukai: manajemen dan teknologi. Aku tertarik dengan data dan AI, juga product management, di mana aku bisa menggabungkan logika, kreativitas, dan empati untuk menciptakan solusi nyata.
Setiap hari di ITB, aku belajar bukan hanya teori, tapi juga cara berpikir, bekerja dalam tim, dan memahami orang lain — skill yang jauh lebih penting dalam dunia nyata. Di sinilah aku belajar bahwa komunikasi bukan sekadar berbicara, tapi tentang mengerti.
Dari Anak Pemalas Menjadi Eksplorator
Kalau ada yang bilang orang nggak bisa berubah, aku mungkin buktinya. Dulu aku benci olahraga. Lari 500 meter aja bisa jadi tragedi. Tapi entah kenapa, belakangan aku malah jadi orang yang nggak bisa diam: badminton, futsal, gym, berenang, bersepeda. Sering aku mikir sendiri, “Ini aku atau reinkarnasi orang lain?” 😂
Tapi mungkin begitulah caraku menikmati hidup — mencoba hal-hal baru meski hanya sebentar. Aku tidak punya satu hobi tetap, tapi aku punya semangat untuk terus mencari hal yang membuatku hidup. Aku menyebutnya “exploring phase of life” — fase di mana aku belajar bahwa rasa penasaran adalah bahan bakar paling murni untuk tumbuh.
Antara Ekstrover dan Introver
Kalau kamu bertemu denganku di kampus, mungkin kamu akan mengira aku ekstrover. Aku bisa bicara dengan siapa pun — anak kecil, satpam, dosen, bahkan direktur perusahaan. Tapi di sisi lain, aku juga suka menyendiri, menikmati diam, atau sekadar menulis ide-ide yang melintas di kepala.
Aku ambivert — perpaduan dua dunia yang tampak bertolak belakang. Tapi justru itu yang membuatku bisa menyesuaikan diri di banyak situasi. Kadang aku yang memulai percakapan, kadang aku yang memilih mendengarkan. Dari situ aku belajar satu hal: komunikasi bukan tentang banyaknya kata, tapi tentang kehadiran.
Belajar untuk Tidak Merasa “Paling”
Waktu SD dan SMP, aku selalu punya posisi aman — si anak pintar yang jarang gagal. Tapi saat masuk SMA, bahkan lebih lagi ketika kuliah, aku sadar: dunia ini luas, dan banyak orang yang lebih hebat dariku.
Awalnya itu menampar ego. Tapi seiring waktu, aku menemukan ketenangan baru — kesadaran bahwa kita tidak harus menjadi yang paling hebat untuk berarti. Yang penting adalah terus belajar, berproses, dan konsisten menjadi lebih baik dari kemarin.
“I’m not the smartest in the room, but I’ll make sure I’m the most persistent.”
Kalimat itu kini jadi prinsipku. Aku bukan orang yang cepat paham, tapi aku nggak akan berhenti sebelum paham.
Kesadaran yang Menyelamatkan
Hal yang paling kusyukuri dalam hidup bukan pencapaian, tapi kesadaran untuk sadar. Kedengarannya filosofis, tapi bagiku ini nyata. Di tengah lingkungan masa kecilku yang rusak, aku bersyukur bisa punya kesadaran untuk berkata pada diri sendiri, “Aku bisa memilih arah berbeda.”
Kesadaran itu seperti lampu kecil di ruangan gelap — nggak langsung menerangi segalanya, tapi cukup untuk menemukan jalan. Dan buatku, itu lebih dari cukup.
Sedikit Tentang Rambut dan Hal-hal Receh
Kalau semua cerita di atas terlalu berat, mari istirahat sejenak 😄 Aku punya satu kebiasaan aneh: aku nggak suka rambut panjang. Padahal banyak cowok di teknik yang bangga sama rambut gondrongnya. Tapi aku? Begitu rambut mulai nutupin telinga, aku langsung cari gunting. Aku nggak tahu kenapa, tapi mungkin karena aku nggak suka sesuatu yang “mengganggu fokus.” Hidup aja udah cukup rumit, ngapain nambah drama di kepala, kan? 😆
Menikmati Cerita Ini
Kalau ditanya apa harapanku dari tugas ini — jujur aja, aku kerjain karena tugas wkwkwk. Tapi kalau boleh berharap sedikit, aku ingin siapa pun yang membaca atau menontonnya menikmati perjalananku. Nggak harus merasa kasihan, nggak harus terinspirasi — cukup tersenyum dan sadar bahwa setiap orang punya versi perjuangannya sendiri.
Aku mungkin belum tahu akan jadi apa nanti. Tapi satu hal yang kutahu, aku akan baik-baik saja. Karena aku sudah belajar hal paling penting: bahwa perubahan dimulai dari keberanian untuk melangkah, bukan dari hasil yang sudah pasti.
Someday, I’ll become exactly who I’m meant to be. Dan perjalanan itu — sudah dimulai sejak aku berani berubah.
✨ End of UTS-1 “All About Me” – Sirojul Firdaus ✨