UTS-3 My Stories for You

Rumah yang Tak Selalu di Peta

Pembuka

Ada yang bilang, rindu itu hanya milik mereka yang tinggal terlalu lama di satu tempat. Tapi bagiku, rindu juga milik mereka yang terlalu sering berpindah.

Setiap kota meninggalkan sedikit serpihan diri kita—aroma hujan, suara orang lewat, langit yang warnanya unik di sore hari. Kadang kita nggak sadar kapan sebuah tempat berhenti menjadi sekadar lokasi dan mulai berubah menjadi “rumah.”

Perjalanan hidupku seperti membuka peta yang warnanya selalu berubah. Dulu, aku pikir “perubahan” itu tentang mencari tempat yang lebih baik. Tapi ternyata, semakin jauh melangkah, aku malah makin sering menoleh ke belakang.

Surabaya

Kalau bumi urutan ketiga dari matahari, mungkin Surabaya itu urutan pertama. Panasnya bisa bikin es batu kehilangan semangat hidup dalam lima menit. Tapi anehnya, justru di panas itu, aku tumbuh.

Ada aroma khas setelah hujan di Surabaya—campuran debu, tanah, dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, mungkin kenangan. Kadang, suara qiroah sebelum maghrib terdengar lembut dari musholla dekat rumah, diiringi bunyi motor lewat, dan obrolan ibu-ibu yang sedang menunggu waktu berbuka. Simpel, tapi entah kenapa terasa hidup.

Aku masih ingat bagaimana suasana buka puasa di musholla: nasi bungkus dibagikan, anak kecil berlarian, bapak-bapak ngobrol sambil kipas-kipas. Aku duduk di pojok, menikmati suasana yang sama setiap tahun. Saat itu aku nggak tahu bahwa rutinitas sekecil itu kelak akan kurindukan.

Lalu datang waktunya berpisah. Hari itu, aku berdiri di depan rumah sambil menatap jalan yang sudah kuhafal setiap lubangnya. Perasaanku campur aduk: excited karena akan ke kota baru, tapi juga sedih karena meninggalkan segalanya. Aku bilang dalam hati, “Surabaya, aku bakal balik kalau udah berhasil.” Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti janji, meski aku nggak tahu kepada siapa.

Perjalanan menuju perubahan selalu terdengar keren sebelum dimulai. Aku sempat berpikir: “Akhirnya aku bisa keluar dari panas ini, keluar dari lingkungan yang bikin aku stagnan.” Kupikir, di luar sana semuanya lebih segar, lebih inspiratif, lebih… aku. Tapi ternyata, panas Surabaya bukan cuma soal cuaca. Itu tentang kehidupan—tentang bagaimana aku terbiasa ditempa dalam keadaan tidak nyaman tapi tetap bisa tertawa.

Malam-malam mencari makan di pinggir jalan, nasi goreng gerobak langganan, dan suara radio jadul dari warung sebelah—semuanya terasa remeh waktu itu. Sekarang, kalau aku lihat video Surabaya di media sosial, rasanya seperti melihat potongan diriku sendiri di sana, berdiri di bawah lampu jalan sambil ketawa kecil. Aneh, ya? Dulu aku ingin sekali pergi, sekarang malah ingin masuk ke layar itu dan bilang, “tunggu sebentar, aku kangen.”

Tapi hidup memang seperti itu. Kadang, hal yang paling ingin kita tinggalkan justru yang paling ingin kita datangi kembali. Dan aku baru sadar, mungkin bukan Surabaya yang berubah—aku yang berubah.

Jatinangor

Kalau Surabaya itu tentang panas yang menampar kulit, maka Jatinangor adalah tentang udara pagi yang sejuk tapi diam-diam menusuk hati.

Saat pertama kali aku tiba di sana, aku sempat merasa kecewa. “Ngapain sih ITB di Nagor, bukan di Bandung?” pikirku waktu itu. Aku membayangkan kuliah di kota besar dengan kafe estetik, lampu-lampu jalan, dan suasana urban yang sibuk. Tapi yang kutemukan justru jalan menanjak, sawah di kejauhan, dan suara jangkrik malam hari.

Namun, waktu punya cara lucu untuk mempermalukan ekspektasi kita. Semakin lama aku tinggal di Jatinangor, semakin aku sadar: tempat ini pelan-pelan mengajarkanku untuk diam dan memperhatikan.

Setiap pagi, dari teras asrama, aku bisa melihat gunung di kejauhan. Kadang berkabut, kadang jelas. Ada sesuatu yang magis dari pemandangan itu — seperti pengingat halus bahwa hidup nggak perlu tergesa-gesa. Sore harinya, matahari tenggelam di balik bukit, memantulkan warna jingga yang lembut di jendela kamar. Biasanya aku bengong saja di sana, sambil mikir betapa lucunya hidup: aku dulu ingin meninggalkan panas, tapi sekarang malah mencari kehangatan.

Kamar asrama kecilku sering jadi basecamp teman-teman dari kamar lain. Entah bagaimana, kamar sempit itu bisa menampung banyak obrolan: tentang masa depan, tentang nilai kuliah, bahkan hal-hal absurd yang nggak penting sama sekali. Di situ aku belajar bahwa “rumah” bisa sesederhana ruang di mana kamu bisa jadi dirimu sendiri tanpa takut dihakimi.

Suatu malam, teman sekamarku pernah berkata sambil nyeruput kopi sachet,

“Lucu ya, dulu kita semua ngebet banget keluar dari kota masing-masing, tapi sekarang malah pengen balik.”

Aku cuma tertawa kecil, tapi dalam hati aku tahu dia benar. Jatinangor, dengan segala keterbatasannya, telah berubah dari “tempat sementara” menjadi “tempat yang kurindukan.”

Mungkin karena di sana, semuanya terasa nyata. Kami saling bantu waktu susah, saling curhat waktu stres, dan saling menertawakan hidup yang belum tentu lucu. Dan di antara semua kesibukan kuliah dan organisasi, aku selalu punya waktu untuk sekadar duduk di teras asrama, menatap langit, dan berkata dalam hati, “aku nyaman di sini.”

Lucunya, justru saat aku mulai nyaman, waktu berkata: “Saatnya pindah.” Seperti biasanya, aku belum siap, tapi hidup nggak nunggu kesiapan siapa pun. Aku harus berkemas, meninggalkan Jatinangor, dan melangkah ke kota yang dulu kuimpikan — Bandung.

Bandung

Kalau Surabaya itu panas dan Jatinangor itu hangat, maka Bandung… agak sulit dijelaskan. Cantik, iya. Adem, iya. Tapi di balik itu semua, ada rasa kosong yang tak pernah kuduga.

Bandung adalah kota dengan langit yang indah dan lalu lintas yang membuatmu berpikir dua kali untuk keluar rumah. Setiap pagi, aku melewati jalan yang penuh pohon, udara yang lebih bersih, dan bangunan-bangunan yang tampak lebih “modern.” Di atas kertas, hidupku di Bandung seharusnya lebih nyaman. Tapi kenyataannya, aku mulai merasa kehilangan sesuatu yang bahkan tidak tahu apa.

Kontrakan yang kutempati sekarang sebenarnya bagus. Kamar luas, lokasi strategis, lingkungan aman. Tapi anehnya, di rumah itu aku sering merasa sepi. Mungkin karena dulu, di asrama, suasana selalu ramai. Ada suara langkah kaki di lorong, tawa di malam hari, dan musik dari kamar sebelah yang entah kenapa tidak pernah mengganggu. Sekarang, yang terdengar hanya suara kipas angin dan detik jam dinding.

Aku pernah berpikir, “Harusnya di sini lebih enak, kan? Bukannya ini yang aku mau?” Tapi ternyata, rumah yang ideal belum tentu terasa seperti rumah. Aku belajar bahwa suasana bukan tentang fasilitas, tapi tentang energi orang-orang di sekitarnya.

Kadang aku duduk sendirian di ruang tengah, menatap gelas kopi yang uapnya mulai hilang, lalu tanpa sadar berpikir, “Dulu di Jatinangor, kopi sachet yang sama rasanya lebih nikmat.” Bukan karena mereknya beda, tapi karena dulu diminum bareng cerita, bareng tawa, bareng hidup.

Lucunya, di tengah kota yang katanya penuh warna ini, aku justru belajar tentang hening. Hening yang bukan kosong, tapi ruang untuk memahami diri sendiri.

Ada rasa yang pelan-pelan tumbuh: semacam penerimaan. Bahwa setiap tempat memang punya waktunya. Surabaya mengajarkanku untuk bertahan. Jatinangor mengajarkanku untuk menghargai kebersamaan. Dan Bandung — dengan segala sepinya — mengajarkanku untuk berdamai dengan diri sendiri.

Refleksi Akhir

Kadang aku berpikir, mungkin hidup itu seperti perjalanan dari kota ke kota — bukan untuk menemukan tempat terbaik, tapi untuk menemukan versi terbaik dari diri kita di setiap tempat.

Surabaya, dengan panas dan kekacauannya, mengajarkanku arti “tumbuh.” Jatinangor, dengan kesejukan dan kesederhanaannya, mengajarkanku arti “berbagi.” Dan Bandung, dengan kesepiannya yang tenang, mengajarkanku arti “mengenal diri.”

Tiga tempat itu berbeda dalam segalanya — cuaca, suasana, orang-orangnya — tapi ketiganya punya satu benang merah yang sama: mereka semua pernah kuanggap bukan rumah, sampai akhirnya aku merindukannya.

Dan mungkin di situlah letak ironi hidup: kita sering nggak sadar bahwa kita sedang bahagia, sampai momen itu jadi kenangan. We only start calling something “home” when it’s no longer ours.

Dulu aku mengira “rumah” itu harusnya nyaman, tenang, dan sempurna. Tapi kini aku tahu, rumah tidak harus begitu. Rumah bisa sesederhana tempat di mana kamu merasa diterima, atau bahkan tempat di mana kamu belajar menerima dirimu sendiri. Rumah tidak selalu punya koordinat di peta — kadang ia bersembunyi di hati orang-orang yang datang dan pergi dalam hidupmu.

Kalau dipikir-pikir, rasa rindu itu bukti bahwa aku pernah benar-benar hidup di tempat itu. Karena kamu tidak mungkin merindukan sesuatu yang tidak pernah menyentuhmu, kan? Maybe that’s why we keep moving — bukan karena ingin pergi, tapi karena kita tahu setiap tempat akan meninggalkan sedikit versi diri kita di sana.

Dan saat semua perjalanan berakhir, kita akan menyadari bahwa “rumah” bukan hanya tentang tempat untuk kembali, tapi juga tentang keberanian untuk terus melangkah.

Aku sering menatap peta digital di ponsel, memperbesar lalu memperkecil, berpindah dari Surabaya ke Jatinangor lalu ke Bandung. Lucunya, garis jarak di peta itu tidak pernah bisa menggambarkan jarak yang sebenarnya — jarak perasaan. Kadang hanya beberapa sentimeter di layar, tapi terasa sejauh bertahun-tahun pengalaman dan perubahan diri.

Setiap kali aku menelusuri jalan virtual itu, aku senyum kecil sambil berpikir: “Jarak ini mungkin panjang, tapi semuanya tetap dalam diriku.”

Dan aku rasa, itu cukup. Because maybe, home isn’t where we stay — it’s where we grow, and where we dare to leave, knowing we’ll always find our way back.

Penutup

Sekarang, kalau ada yang bertanya di mana rumahku, aku mungkin akan menjawab begini:

Rumahku bukan hanya di satu kota. Rumahku adalah di setiap tempat yang pernah membuatku ingin pulang.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang mencari tempat yang paling nyaman, tapi tentang belajar nyaman di tempat yang kita miliki — setidaknya, untuk sementara waktu.

Dan kalau suatu hari aku pergi lagi ke kota lain, aku tahu satu hal: rasa rindu ini akan datang lagi, mengingatkanku bahwa setiap tempat, sekecil apa pun, pernah menjadi rumah — meski hanya sebentar.

✨ End of “My Stories for You” – Rumah yang Tak Selalu di Peta ✨ by Sirojul Firdaus